Penulis: Hesti Edityo
Uuugghh…! Siang itu Si Kancil terduduk lemas di tepi sungai yang mulai
menyusut airnya. Perutnya melilit kelaparan. Di hutan tempat tinggal Si Kancil
sudah tak ada lagi tumbuh-tumbuhan yang bisa dimakan, semuanya gersang dan
pepohonan habis ditebang manusia. Banyak kawan-kawannya, para penghuni hutan
yang mati kelaparan atau ditangkap penduduk desa karena mereka terpaksa mencuri
makanan dari perkebunan penduduk. Selama berhari-hari Si Kancil makan seadanya,
rumput-rumput kering atau dedaunan yang menguning yang masih bisa ditemukannya.
Tak ada lagi buah-buahan yang bisa ia dapatkan di hutan.
Perlahan Si Kancil bangun, dan memutuskan untuk berjalan menyusuri
sungai. Langkah kakinya lemah dan hampir terjatuh. Si Kancil berharap bisa
menemukan tempat yang masih dipenuhi pepohonan. Seharian penuh Si Kancil
berjalan hingga saat menjelang malam, hidungnya mencium sesuatu yang sangat
dikenalnya.
Aroma buah timun yang segar! Hmmmm….. air liur Si Kancil menetes, rasa
lapar dan perutnya kian terasa.
“Timun-timun itu pasti lezat dan bisa mengobati rasa laparku!” batin Si
Kancil.
Si Kancil pun berjalan semakin mendekat. Mencari sumber aroma buah
timun. Oh, ternyata aroma itu berasal dari kebun Pak Tani. Dalam keremangan
cahaya sore, samar-samar Si Kancil melihat buah-buah timun yang menggantung,
menggelayut pada pohonnya yang merambati tonggak bambu. Sungguh menggoda
selera!